Tulisan ini akan mendiskusikan fenomena Ujaran Kebencian (hate speech) dalam kacamata politik digital. Hal ini menarik untuk di kaji sebab di Indonesia sedang mengalami transisi dari kehidupan konvensional menuju kehidupan serba digital. Transisi ini memberikan relevansi terhadap dinamika eksistensi Pancasila di masyarakat sebagai alat pemersatu bangsa.
Proses transformasi dalam berkomunikasi menjadi kebutuhan khusus antar manusia. Kehadiran internet sebagai bentuk media baru (new media) membentuk pola baru komunikasi di masyarakat. Media sosial sebagai salah satu bentuk media baru menjadi fenomena di dunia termasuk Indonesia dengan penningkatan jumlah pengguna yang sangat drastis. Data Asosiasi Pengguna Jaringan Internet Indonesia (APJII) per januari 2016 menyebut ada 79 juta pengguna media sosial di Indonesia. Penetrasi internet dalam ruang publik masyarakat Indoenesia ini diperkirakan akan mengalami itensitas kenaikan dalam setiap tahunya.
Masifnya penggunaan media sosial dalam kebutuhan keseharian menandakan kebutuhan akan akses informasi yang banyak, cepat dan instan. Dibandingkan dengan informasi yang di tawarkan oleh media konvensional, informasi yang di tawarkan oleh media sosial adalah ruang debat publik yang akan saling menguji reabilitas setiap informasi. Selain hal itu, hal lain yang menjadi perhatian penting, bahwa media sosial dapat menjadi media agitasi dan propaganda politik terhadap publik. Hal ini yang menunjukan keleluasaan eksistensi media sosial sebagai ruang publik dan merupakan salah satu bentuk implementasi politik digital.
Politik digital secara sederhana merupakan ruang pembentuk ikatan-ikatan politik dalam masyarakat berbasis konten teknologi yang sifatnya memperkuat atau mengurangi kadar demokrasi (Coleman, 2015). Secara harfiah pengertian politik digital adalah arena besar yang memungkinkan adanya partisipasi, representasi, maupun artikulasi kepentingan kemudian bersinergi dan berkontestasi satu sama lain melalui konten digital sebagai agenya (Jati, 2015). Peran partisipatif dengan membentuk komunitas, keterhubungan antar pengguna dalam ruang publik dunia maya untuk berdiskusi memberikan keleluasaan semua pengguna untuk menjadi produsen informasi. Namun, keleluasaan berdiskusi di media sosial ini mengisyaratkan beberapa dampak negatif dan menimbulkan konflik di masyarakat, hal ini disebabkan oleh pihak-pihak pengguna media sosial yang tidak bertanggung jawab yang mempersoalkan perbedaan nilai, norma, kebiasaan, agama, golongan dan lain sebagainya.
Salah satu yang dipotret media sosial ialah hadir dan meningkatnya itensitas ujaran kebencian (hate speech) yang di lakukan oleh kelompok atau Individu yang menyebarkan informasi bernada provokasi dengan kalimat bersifat SARA. Dalam laporan yang di buat Walters et. al, peneliti-peneliti dari Universitas Of Susex, ujaran kebencian dikatakan sebagai bagian dari kriminalitas kebencian. Hal ini di rumuskan sebagai aksi menghasut orang lain untuk membenci hal tertentu, tidak hanya berdasarkan SARA, tetapi juga bisa berdasarkan disabilitas atau orientasi seksualnya (Patresia, 2017). Sebagai contohnya dilakukan oleh kelompok Saracen penyebar ujaran kebencian (hate speech) melalui berbagai media sosial yang mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Esensi kehidupan demokratis memang dicirikan oleh penghormatan kebebasan berekspresi sekaligus melarang penyerangan terhadap hak inividu. Kondisi dilematis ini mendorong penulis untuk bertanya, Bagaimana srategi pemerintah mencegah terjadinya ujaran kebencian (hate sepeech) yang di lakukan Saracen melalui Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa?
Kasus ujaran kebencian (hate speech) yang dilakukan oleh kelompok Saracen sudah memulai aksi penyebaran kebenciannya November tahun 2015. (Teguh, 2017). Kasus ini terungkap tanpa adanya kesengajaan yang di lakukan oleh Bareskrim Polri. Bermula dari penangkapan tersangka Sri Rahayu Ningsih (SRN) pada sabtu, 5 Agustus 2017, atas penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo melalui akun Facebooknya. Kemudian di lanjutkan penangkapan Jaspriadi atas kasus akses ilegal terhadap akun Facebook sekaligus memulihkan akun dari Sri yang digunakan untuk menyebarkan kebencian yang sudah dilumpuhkan oleh penyidik kepolisian sebelumnya. Selain Sri dan Jaspriadi, juga Muhammad Faizal Tanong, serta Ropi Yatsman yang sudah di vonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Lubukbasung, kabupaten Agam, Sumatera Barat. Penangkapan secara beruntun terhadap empat orang tersangka ini ternyata satu kelompok Saracen yang diduga kuat selama ini kerap menyebarkan ujaran kebencian serta hoax berunsur SARA.
Meskipun Kepolisian Republik Indonesia merespon banyaknya kasus yang di akibatkan oleh ujaran kebencian dengan menerbitkan Surat edaran yang mengatur ujaran kebencian (hate speech). Kasus yang dilakukan oleh kelompok Saracen merupakan suatu peringatan bagi pemerintah untuk lebih waspada terhadap kerusakan yang ditimbulkan jika media sosial digunakan untuk membakar amarah. Hal ini juga menjadi titik awal mencegah ujaran kebencian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok lainya.
Dari kronologi yang telah dijabarkan, penulis melihat ada berbagai macam faktor yang menyebabkan adanya ujaran kebencian melalui media sosial. Faktor-faktor yang mendasari ujaran kebencian adalah prasangka buruk terhadap orang atau kelompok tertentu, sebuah konflik kekecewaan terhadap tindakan tertentu yang dilakukan si objek memicu pembuat ujaran kebencian untuk menyatakan hal negatif tentangnya. Walaupun demikian, pemerintah mengupayakan untuk mencegah adanya ujaran kebencian (hate speech) melalui Kementerian Komunikasi dan Informtika dengan mengikat komitmen perusahaan layanan aplikasi dan konten melalui internet (over the top/OTT) asing untuk menekan konten negatif di dunia maya.
Pemerintah dalam beberapa hari sebelumnya sudah mengelar kerjasama dengan perusahaan berbasis layanan aplikasi seperti Google, Facebook, Telegram dan Twitter untuk sama-sama serius menekan konten negatif. Rapat yang di lakukan Kementerian Komunikasi dan Informasi membahas strategi pencegahan konten negatif berdasarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik No 19 Tahun 2016.
Strategi pertama yaitu teknis membasmi konten negatif dengan mengikat perusahaan layanan aplikasi. Seperti halnya Google dengan menerapkan sistem trusted flagger pada layanan berbasis video, jalur pelaporan ke pemerintah melalui e-mail. Facebook membuat filter berbasi lokasi (geoblocking) dengan menunjuk pegawai dari Indonesia dalam menangani konten terlarang. Twitter sama dengan google, perbedaanya hanya pada “cuitan” saja. Telegram membuat jalur komunikasi khusus dengan pemerintah dan menunjuk pegawai dari Indonesia dalam menangani konten negatif. (Rudiantara, 2017)
Srategi kedua adalah menekan pembentukan tim panel khusus untuk menyaring masalah pemblokiran konten negatif di internet. Panel tersebut sebagai Forum Penangan Situs Internet Bermuatan Negatif (FPSIBN), dan diatur dalam Keputusan Menteri Nomor 90 Tahun 2015 (Arief, 2015)
Strategi ketiga adalah kampanye Literasi Digital melalui Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang merupakan langkah terstruktur melawan ujaran kebencian dalam meningkatkan kesadaran akan hak sosial budaya dan politik dan kelompok, termasuk tentang kebebasan berpendapat beserta konsekuensi yang di dapatkan (Suko, 2017).
Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa ujaran kebencian (hate speech) sebagai implementasi dari sebuah politik digital dapat memberikan dampak negatif pada masyarakat yang menerima konten negatif yang akhirnya mengeser tatanan nilai dan norma di masyarakat. Namun politik digital juga bisa memberikan kampanye literasi dalam memahami kembali Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa dengan menyebarkan konten-konten bernuansa Nasionalisme. Kasus yang dilakukan Saracen menjadi kewaspadaan bagi masyarakat Indonesia untuk lebih cerdas memilah informasi yang baik. Dengan strategi-startegi pencegahan konten negatif yang sudah dilakukan pemerintah melalui Kominfo di harapkan dapat memberikan pencerdasan pada masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
Nurfhatulloh
Referensi :
APJII and Puskakom – UI. (2016). Profil Pengguna Internet Indonesia 2016. Jakarta: APJII Press.
Coleman, Stephen & Freelon. (eds). 2015. Handbook of Digital Politics. Cheltenham: Edward Elgar Publishing.
Hidayat, Arief. 2015. Cara Kominfo Blokir Situs Terlarang. [Online] Tersedia di : http://nasional.tempo.co/read/news/2015/09-17ak.cara-kominfo-blokir-situs-terlarang.
[Diakses 02 September 2017].
Jati, Wasisto Raharjo. Cyberspace, Internet, dan Ruang Publik Baru : Aktivisme Online Politik Kelas Menengah Indonesia. Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol. 3 No. 1 Januari 2016.
Patresia, 2017. Mengapa Orang Membuat Ujaran Kebencian?. [Online] Tersedia di : https://tirto.id/mengapa-orang-membuat-ujaran-kebencian-cqJK
[Diakses 02 September 2017].
Rudiantara, 2017. Kominfo Kerjasama antar Elemen Sangat Penting Untuk Perangi Konten Negatif di Media Sosial. [Online] Tersedia di : http://www.industry.co.id/read/14981/menkominfo-kerjasama-antar-elemen-sangat-penting-untuk-perangi-konten-negatif.
[Diakses 02 September 2017].
Suko, 2017. Literasi Digital sebagai Strategi Merespons Ujaran Kebencian (Hate Speech) di Media Sosial. [Online] Tersedia di : news.unair.ac.id/2017/04/12/Literasi-Digital-sebagai-Strategi-Merespons-Ujaran-Kebencian-(Hate-Speech)-di-Media-Sosial.
[Diakses 02 September 2017].
Teguh, 2017. Kronologi Saracen.[Online] Tersedia di : https://tirto.id/kronologi-saracen-cvgJ
[Diakses 02 September 2017].